Lima tahun sudah. Kamu menginginkannya. Aku menolak. Katamu kita adalah omong kosong belaka. Petaka. Kubilang kamu mengada-ada. Biasa.
Kita terbiasa tak sepakat. Terlalu terbiasa, sampai-sampai kita punya menu makanan berbeda di meja. Nasi merah versus nasi putih. Saos tomat versus kecap. Dan aneka versus lainnya yang dipaksa bersanding sekian lama. Terlalu lama?
Jawabmu iya. Terlalu lama. Aku melengos kesal, terbiasa melihat kamu menyerah. Bersungut- sungut. Kamu lalu menudingku egois. Ingat diri sendiri. Aku menudingmu balik, tak kalah sengit. Lalu kamu apa, bila bukan egois?
Kita lalu bungkam. Sama kesal. Sudah bebal.
Ruangan mendadak hampa udara. Kamu sesak. Aku terdesak. Kamu pergi. Aku, bertahan.
Skenario ini direka dalam diam. Berulang-ulang. Mungkin ia adalah fragmen memori yang tercecer, atau justru kolase masa depan yang menampakkan dirinya satu persatu, dalam pecahan sekenanya.
Sekarang.
Aku tak lagi bertanya padamu. Kamu apa lagi. Aku berhenti menjual Kita. Kamu, tampaknya lega. Aku mengangguk. Kamu lebih lagi. Aku untuk aku. Kamu untuk kamu. Pada akhirnya, untuk pertama kalinya, kita sepakat.