“I LOVE YOU”, That’s The Spell

“KAMU YANG MENCURI RINDU. Bersembunyi di antara mantra gelinjang dan kata cinta”

DI TERAS
“Sepertinya kamu didukunin deh. Coba deh lihat baik-baik. Kamu oke begini, dia parah begitu. Nggak pas banget. Nggak ada pilihan lain apa?”

“Dasar crappy, kamu aja yang sirik karena nggak bisa dapetin dia.
Udah jangan bawel, tuh abisin kopinya. Mau ujan nih bentaran”

DI RUANG TV
“Kamu deketan donk, kayaknya filmnya serem nih”

“Kamu aja yang penakut. Mau dipeluk kayak gimana?”

DI KAMAR TIDUR
“Sepertinya kamu dukunin aku deh. Aku ketagihan sama kamu. Ajarin donk supaya tante-tante itu juga tergila-gila padaku”

Kedua pria muda itu membungkus malam dengan mantra “I love you”

DIA YANG BERBINGKAIKAN CARUT

“DIA YANG BERBINGKAIKAN CARUT. Bekas sayatan di pelipis, dari ayahku. Jahitan di ujung bibir dari ibuku. Dan lubang besar di hati, maha karyamu”

“Cyiiiiin, si tahulah-siapa itu mau fitting bentaran lagi trus minta desain baru lagi bo.. Rempong!”

“Lu tau ga sih, lakinya kagak jelas siapa. Tiba-tiba dah beranak. Kegatelan tu pecun!”
_ _ _

Dia mematut-matut dirinya di cermin. Semakin lama semakin muak. Ia tergugu. Rumah ini terlalu besar. Tak ada yang bisa mendengar tangisnya.
_ _ _

Channel 3
“Saya ini papanya, masa dia nggak mau ngakuin? Mentang-mentang sudah ngetop. Kaya raya”

Channel 8
“Dia itu dekat sekali dengan saya, bakat aktingnya sedari kecil sudah kelihatan…”

Harian Pagi
“ARTIS DURHAKA TAK MENGAKUI AYAH KANDUNGNYA YANG CACAT”
_ _ _

Dibelainya rambut putrinya. Dikecupnya dahinya lembut, “Ini waktu Tiara ulang tahun ke-2. Cantik ya?”

Air mata manggenang di pelupuk matanya. Masa kecilnya tanpa pesta ulang tahun, apalagi album cantik berpita pink.
Ada sayatan di pelipis, jahitan di ujung bibirnya

TENTANG RINDU DALAM ROKOK SESOREAN

“ROKOK SESOREAN. Pemantik menjentikkan terik. Terbakar rindu. Dihisap cemburu. Tercecer di antara lintingan asap”

Bungkus ke-3.
Di hisapnya rokoknya dalam-dalam. Tangannya menggapai-gapai ujung tempat tidur. Blackberry. Tak ada pesan darinya.
Hanya Broadcast Message yang mengantri untuk di buang ke laut.

“Kamu harus percaya padaku” kata-katanya mendengung seperti lebah di kupingnya. Menyebalkan. Bagaimana bisa percaya. Kabar terakhir darinya cuma sesubuh tadi.

Bungkus ke-4. Matahari mulai menghilang di balik punggung langit. “Jangan coba hubungin aku”. Kali ini kata-katanya mendesis seperti ular di lehernya. Mencekik. Ngangenin.

Bungkus ke-5. Kantuk mulai iba padanya. “Aku cuma cinta sama kamu”. Kata-katanya merayap naik menggelitiki pusarnya. Dia datang juga. Kain pantai fuschianya tersingkap. Mereka berpagutan di mana-mana. Panas. Semakin panas.

***
Polisi menemukan jasad yang habis terpanggang api, telungkup di atas kasur. Puntung rokok di tangan kirinya. Blackberry di kanan.

***
Seorang gadis ditemukan mati mengenaskan. Kain fuschia di antara pucat kulit lehernya.

Two Muffins and A Latte

She ran her manicured nails through his neck and kissed him hard. He pushed her down to the couch, tracing the tip of her tongue with his. Both panting. She unhooked her bra. He pushed her away. She said nothing but smirked, reached for her silvery coat and left. He was grasping for water. Took big gulps from the jar and headed to his room.

He must’ve fallen asleep when she came home. His wife. She never ceased to fascinate him. It was love at first sight. He used to go to the same Bank where she worked. She had once mistaken him with another client. She blushed and apologized. Awkward conversations. The next thing he remembered, they were so much in love. He had always been faithful, until he met Soph.

***

Soph. The great kisser.. They met in painting class, 2 months back. None of them remembered who had started the kiss that led to series of love making. But the guilt was too big to swallow. He told Soph it was over, she told him it had just started.

****

It had been a week since he told his wife about Soph. She kicked him out, said she wanted a divorce. It was raining. He felt like getting freshly baked muffins and a latte. There was this pastry shop he was so fond of. Oh, she took the car, by the way. So there he was, walking to the pastry shop in heavy rain from his cheap motel room.

He was munching on his last muffin when he saw someone familiar, right across the street. There she was, Soph, fishing something from the pocket of her silvery coat. Then a familiar white sport car screeched to a halt. He ordered another latte and took a closer look. His wife was not alone. Someone, was with her; a man, holding her hand. They were waving and heading to.. Soph!

He grabbed his coat and ran to the street. Head wobbly with question marks. He was soaking wet. Flash lights. Head spinning. Loud screeching sound.

A crash.

Pitch dark..

RATAP LEBAM PIGURA

RATAP PIGURA. Seragam kebesaran ayah. Seringai linting kumisnya. Berlatarkan bilur ibu dan lebamku

Ibuku berimankan pelukan. Bapakku pada bogem mentah.
Setiap hari ada saja yang membuat marah Bapak. Mulai dari kopi yang terlambat diseduh, warnanya terlalu pekat, sampai pada cangkirnya yang kurang besar.

Setiap hari juga aku melihat Ibu sabar memeluknya. Kadang iman ibu membuahkan hasil. Bapak menunda kemarahannya. Si jahanam itu menyeret Ibu ke kamar untuk memuaskan nafsu binatangnya.

Sore itu tadinya hening sempurna. Aku asyik menyiangi rumput di halaman. Ibu tak enak badan. Beliau batuk-batuk sesorean. Tiba-tiba “buk” “praaang” Bapak melempar panci ke muka Ibu karena terlambat memasak nasi. Darah mengucur dari pelipis ibu. Bukannya lari, atau menghindar, setengah menyeret kakinya yang lebam ditendangi Bapak semalaman, Ibu menubruk Bapak dan memeluknya erat. Lebih erat dari biasa.

Kali ini aku tak peduli. Sekalipun Ibu harus serta.