WARGA NEGERI CERMIN

“Mereka bilang aku pernah mati. Bagaimana mungkin aku nggak ingat rasanya. Belatung keluar dari telingaku”

Anak-anakku bersiap sekolah. Si kecil sudah pandai mengenakan seragamnya sendiri. Si sulung, sibuk mengarahkan adiknya dan membetulkan sana-sini.

Istriku, dia kelihatan lelah. Sedikit sembab, tapi tetap menawan. Ia merapikan dokumen-dokumennya yang berserakan di lantai kamar. Memasukkannya dalam binder merah, kesayangannya.

Si sulung berdiri di depanku. Mematut dirinya, buntut kudanya. Kaos kaki dan sepatunya berwarna biru langit. Warna kesukaannya, biru. Aku ingat betul, jika ditanya kenapa, jawabnya “supaya nggak dibilang manis”.

Istriku berdiri di depanku. Membetulkan letak kaca matanya. Merapikan cepol rambutnya. Cantik. Sejurus kemudian, ia sudah menyambar tas nya dan meninggalkan kamar, menyusul anak-anak yang sudah berlarian menuruni tangga.

Kamarpun lengang. Rindu mencabik-cabik. Sepertinya aku habis menangis sampai nyaris tertidur. Tiba-tiba di hadapanku ada Parni. Saking dekatnya dia nyaris mencium mukaku. Diperasnya spon bersabun itu lalu mulai mencuci mukaku.

2 Comments

  1. adek bakri says:

    Aku bacanya dua kali, menggugah..

    1. terima kasih, semoga menikmati #cerita sehalaman ku yang lain juga 🙂

Leave a reply to adek bakri Cancel reply