What If

What if

We did not go back

To yesterday long forgotten

Would we miss it then?


What if

We celebrated goodbye

In ways we could remember

Would we surrender?


What if

We took no trips to regret

And had whatever guilts unpacked

Would we be sober?


What if

We had the guts and wits

To admit that we deserve better

Would we high five and live?

Sub 22.04.2021

Habis lelapTerbitlah erang

Terang saja
Kamu senang
Menjura
Memuja Menang
Siapa yang tidak?

Tetapi gelap,
Tempatnya tanya
Tanpa jawab
Tentang terang
Yang lelap

Karena erang
Melenakan
ibarat terang
di tepi karang

Hello darkness my old friend 浪
24.03.2021

Bisa Karena Binasa

Kita terbiasa diam. Mendiamkan. Didiamkan. Karena bicara tentang perasaan, menyeramkan.

Mungkin saja Diam perlahan bergeser jadi semacam mantra untuk jalan keluar dari sebuah pintu gerbang yang kita masuki saja, tidak. 

“Ikut Hati Mati. Ikut Rasa Binasa”

Dibesarkan oleh seorang single mother yang borderline ice queen – steel heart yang tidak pernah ‘curhat’ dan ‘tak murah pelukan’, perasaan jadi seolah orang asing yang sebaiknya tidak diajak mengobrol. But don’t get me wrong, dia Ibu yang rela meniadakan dirinya dan segala inginnya buat aku, dan adikku.

Hampir tidak pernah aku melihat Mama, menangis, mencurahkan perasaannya atau memperlihatkan kerapuhannya sebagai manusia biasa. Setiap kali sedang jengkel atau ada yang tidak pas dengan hatinya, mama cuma diam. Kadang berhari-hari. Sampai hatinya enak kembali, lalu Simsalabim, seolah “silent treatment” beberapa hari kemarin tak pernah terjadi. Pernah suatu kali, di masa remaja berdekade-dekade yang lalu, aku nekat pergi walau tak dapat ijin. Saat pulang, semua pintu dan jendela terkunci rapat, tak ada jalan masuk rumah. Mama sama sekali tak membukakan pintu, saking tingginya ilmu “diam”nya bahkan saat saklar listrik utama kumatikan, mama tetap tak beranjak dari kursi ruang keluarga, menghadap televisi yang ikutan mati. Setelah berjam-jam mencari akal, berhasil juga memanjat masuk ke dalam rumah setelah mencungkil-cungkil jendela dapur. Mama mendiamkanku selama tiga hari, sampai akhirnya aku memutuskan untuk bersuara dengan caraku: menulis surat panjang lebar, karena tak tahu harus bilang apa dan bagaimana menghadapi silent treatment-nya. 
Bisa jadi itu juga sebabnya di awal-awal masa pacaran serius dahulu, aku sampai harus bikin contekan topik pembicaraan supaya nggak sampai mati gaya kehabisan bahan cerita waktu ditelpon dari wartel sama pacar LDR saat itu.

Tantangan terseram adalah membicarakan hal-hal yang menurutku, berpotensi bikin aku kehilangan kendali atas diri sendiri (misal: bilang kangen banget atau semacamnya, atau justru bilang kecewa, marah dsb)
Diam sama sekali bukan emas bila konteksnya bikin lebih gagap emosi. Alih-alih membicarakan perasaan dengan orang lain, kita memilih untuk meniadakan perasaan kita untuk sebuah konsep Damai (baca: semua baik-baik saja) yang semu. 

We Fake Peace so well it fucks us up even better.

Dipikir-pikir kebiasaan dont ask – don’t tell – don’t hug (or ill burst into unstoppable tears) itu bikin kemampuan meraba rasaku lebih tajam. Membaca yang tersirat bukan yang tersurat. Memahami dan mengakui perasaan sendiri jadi lebih mudah, tapi menyampaikan dan membicarakannya dengan orang lain sungguh, tak pernah mudah. Hence, my writings. Butuh sekian relationship, dalam pertemanan, percintaan, persaudaraan dan/atau pekerjaan untuk membuat emosi verbal jadi lebih fasih. Mengakui perasaan sendiri, sembari menerima keberadaan perasaan orang lain sah dan valid, entah selaras atau berseberangan itu sangat menenangkan. Walau belum tentu, menyenangkan.

|Bersambung| as in… Diedit dan update sesegera mungkin 🤘🔥

Jalan Luka

Kita menabung luka, cukup untuk terjaga karena bahagia,

Bahagia itu melenakan.

Ia Membenarkan segala, yang kau ragu saat luka

Mengunci jawaban, yang kau tanya kala pedih

Bahagia membuat kita seolah (paling) tahu formula rasa, harap, dan derap yang paling tepat

Bahagia bikin kita mendongak congkak

Luka bikin kita tunduk, bertekuk

Mencari remah harap yang berserakan

Tercecer, sepanjang jalan

Sunyi…

Sungguh sunyi jalan luka

Sementara bahagia, penuh sesak dan hiruk

Pikuk mereka yang melupa

Akan luka yang lalu

Lalang dalam telanjang

19.03.21